Syeh
Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya
Alasan yang mendasari mengapa Syeh
Siti Jenar mengkritik habis-habisan para ulama dan santrinya karena dalam
kacamata Syeh Siti, mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah raga).
Padahal masih banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk
mencapai tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta
bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia. Maka
manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas beratnya.
Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.
Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep
Surga-Neraka
Konsep surga-neraka dalam ajaran
Siti Jenar berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh para ulama. Menurut
Syeh Siti Jenar, surga dan neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama
mengajarkan surga dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia
atas amalnya yang bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).
Menurut Syeh Siti, orang mukmin
telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir balik, mengharap-harap surga,
sedang surga sesudah kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang
tidak perlu mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ?
Tuhan toh tidak memberi lantaran shalat.
Santri yang menjual ilmu dengan
siapa pun mau menyembah Tuhan di masjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang
bohong. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik
lima kali, pagi, siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga
kelak. Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi
gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu sungguh
bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat itu
dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk menyembah
Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari keserakahannya; dengan minta-minta
imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh para ulama, sehingga
mereka suka berzikir, dan disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya
tiap hari. Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus
diimplementasikan kepada sesama (habluminannas).
Lebih lanjut Syekh Siti Jenar
menuduh para ulama dan murid mereka sebagai orang dungu dan dangkal ilmu,
karena menafsirkan surga sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat.
Penafsiran demikian adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama
adalah hidup asal hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati
mereka menolak mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia
masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh
para pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah,
itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil
bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang,
tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah sambil memandang hamparan
sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya, tenang jiwanya, itulah surga.
Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana neraka.
Syeh Siti Jenar memandang alam
semesta sebagai makrokosmos dan mikrokosmos (manusia) sekurangnya kedua hal ini
merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan,
tidak kekal dan tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.
Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, sebagai organ tubuh seperti daging,
otot, darah, dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang
pinjaman yang suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini,
akan kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).
Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
“Bukan kehendak angan-angan, bukan
ingatan, pikiran atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan pula kekosongan atau
kehampaan. Penampilanku sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat
busuk bercampur debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air,
kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan sebagainya
adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi nama”.
Kesimpulan
Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag (jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag (jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang
sangat ekstrim memandang dunia sebagai bentuk penderitaan total yang harus
segera ditinggalkan rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad,
Hussein Ibnu Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda
dengan konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar